Masyarakat percaya bahwa mendengar bunyi pepa’u aru ini, belalang takut dan kemudian menjauh. Tarian ini kemudian dibuat secara rutin setahun sekali sebagai lambang kegembiraan para petani menyambut panen, yaitu sebelum upacara adat Pahere Jara di Bodo.
Menurut Dorkas, dalam pekembangannya sekarang, tarian ini sudah dikemas sebagai tarian yang dipakai setiap kali dibutuhkan, misalnya untuk menyambut tamu di Sabu, juga dilombakan dalam berbagai festival seni dan budaya di Sabu. Lalu tarian Haba Ko’o Rai.
Tarian ini sebagai gambaran kehidupan para petani yang ada di Pulau Sabu. Setiap gerakannya menirukan kegiatan para petani yang memiliki arti masing-masing. Misalnya saat petani menyiapkan lahan, menyiapkan bibit, membersihkan lahan, mencangkul, menanam bibit, membersihkan gulma, memanen hasil, membersihkan hasil panen, hingga menyimpan hasil panen tersebut di hoka (lumbung).
Dalam tarian ini, beberapa peralatan yang dibutuhkan adalah kerigi dai (nyiru) yang digunakan untuk menapis (dae), memisahkan (heroge) sorgum yang baik dan yang tak berisi, dan memisahkan sorgum yang kecil (kerunu) dan yang utuh.